I Pendahuluan: Pengantar kepada Teologia Perjanjian Lama
A. Problematika dalam studi Perjanjian Lama
Mempelajari Perjanjian Lama, berarti mempelajari sejarah masa lalu, mempelajari dunia yang berbeda dengan konteks kita masa kini. Perbedaan ke dua zaman ini menjadi akar persoalan dalam studi Perjanjian Lama. Menemukan arti suatu teks dan makna ayat itu pada masa kini merupakan masalah mendasar dalam teologia Perjanjian Lama
Problematika Perjanjian Lama ini dilihat oleh para Ahli Alkitab dalam dua aspek yaitu adanya perbedaan dan persamaan yang terdapat di antara dunia Perjanjian Lama dengan dunia masa kini.
1. Perbedaan
Seorang teolog Jerman, Gottold Lessing mengatakan: terdapat ‘jurang yang ngeri’ antara dunia Alkitab (teks asli, arti asli) dengan dunia masa kini yang tidak mungkin dapat dijembatani, sehingga tidak mungkin bagi kita untuk mencari arti dari suatu teks (arti asli) dan maknanya bagi kehidupan masa kini. Menurut Lessing, kitab Suci (khususnya Perjanjian Lama) terikat kepada lingkungan sejarah kunonya. Semua pernyataan di dalam Perjanjian Lama diwarnai oleh kepercayaan primitif dari orang-orang yang menulisnya. Pemikiran Lessing ini telah “mengotori” pemikiran para ahli tentang tentang Alkitab, Alkitab hanya merupakan produk dari zamannnya yang tidak lagi dibutuhkan pada zaman moderen ini. Alkitab tidak lagi berbicara secara otoritatif kepada para pembacanya pada masa kini.
Dunia Alkitab dan dunia masa kini dapat digambarkan sebagai berikut :
J
u
r
a
n
g
Dunia Alkitab Dunia masa kini
Antara dunia Alkitab berbeda dengan dunia masa kini
1. Latar belakang sejarah
2. Geografis
3. Budaya
4. Bahasa dan lain-lain
5. Politik
6. sistim pemerintahan
7. Agama dan kepercayaan dan lain-lain
Pikiran Gottold Lessing ini melahirkan relativisme historis yang kemudian dikembangkan oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1874) dengan pandangannya antara lain,
”Pengertian akan Allah tidak terdapat dalam pembacaan Alkitab. Tiap-tiap orang terikat oleh pra-pengertiannya dan tidak mungkin masuk ke dalam pengertian sama dengan penulis zaman dahulu. Maksud yang berarti bagi kita adalah maksud yang kita temukan dalam teks terlepas dari konteks dan maksud asli”.
Sejalan dengan perkembangan itu, Ilmu Anthropologi menemukan sekian banyak manusia di bumi dengan keaneka ragaman kebudayaan dan system penghargaan yang melahirkan filsafat Relativisme budaya. Pandangan ini antara lain mancatat,
“Tidak ada kebudayaan yang mutlak oleh karena itu kebudayaan membuktikan bahwa manusia dapat hidup berbeda dari manusia yang lain. Kebudayaan hanya berlaku atau benar dalam kebudayaan itu sendiri. Tidak mungkin sesuatu diambil dari kebudayaan menilai sesuatu dari kebenaran yang lain”.
Konsep Relativisme Kebudayaan dan Relativisme sejarah merupakan satu kendala dalam penafsiran Alkitab masa kini. Tentang hal itu Barr mencatat, “bahwa tidak ada sifat manusia yang universal, sehingga peraturan-peraturan yang berlaku untuk satu kebudayaan sama sekali tidak bisa digunakan dalam konteks yang lain”.
Arti dan nilai-nilai yang berlaku untuk masa kini sangat berbeda dari arti dan nilai pada jaman kuno. Dengan demikian kita tidak mungkin dapat memahami arti asli dari satu teks.
Untuk menjembatani kesenjangan antara arti asli dari satu teks dengan maknanya bagi kita masa kini, para Sarjana Alkitab Moderen mencoba memberikan tiga pendekatan:
1. Arti asli (dengan metode apapun) identik dengan arti masa kini.
2. Arti asli, mengandung gagasan-gagasan yang harus diterjemahkan untuk memperoleh makna masa kini.
3. Arti asli = cara orang Kristen dahulu menggunakannya, sehingga makna masa kini = cara ayat-ayat tersebut digunakan oleh Kristen modern (Reader Respon)
Pendekatan ke tiga ini didukung oleh J. A. Clines yang mengatakan tidak mungkin berbicara tentang ‘arti teks’ dari teks apa saja dan kita bebas untuk menafsirkan teks yang kita pilih.
2. Persamaan
Pandangan Gottold Lessing tentang “jurang yang ngeri” telah menimbulkan persoalan hermeneutik sampai masa kini. Pandangan tersebut mendapat penolakan dari para teolog Injili, yang memberikan asumsi tentang adanya persamaan di antara Perjanjian Lama dengan dunia masa kini. Namun pendekatan yang telah diberikan terhadap Perjanjian Lama inipun tidak seluruhnya dapat diterima. Untuk menemukan persamaan antara Perjanjian Lama dengan dunia masa kini para ahli Alkitab juga menjadikan rasio manusia sebagai ukuran dalam mengevaluasi Alkitab Perjanjian Lama. (contoh-contoh pemikiran Teolog ini akan dibahas dalam bagian yang berikut)
Untuk menjembatani gap yang terdapat antara Perjanjian Lama dengan dunia masa kini. Maka kita harus bertitik tolak kepada pekerjaan Roh Kudus yang menginspirasikan para Penulis Perjanjian lama. Roh Kudus yang sama adalah Roh yang mengiluminasi pembaca Alkitab masa kini. Roh Kudus berkuasa untuk “menyeberangkan” pembaca masa kini untuk dapat memahami apa yang terjadi pada dunia kuno (Perjanjian Lama).
Bertitik Tolak dari keyakinan terhadap pekerjaan Roh Kudus, kita paling tidak menemukan “tiga jembatan” yang menghubungkan dunia masa kini dengan dunia Kuno
a. Dunia Perjanjian Lama memiliki Allah yang sama dengan duni masa kini
Berdasarkan pemahaman ini pertama-tama kita harus menolak pemahaman relativisme sejarah yang membedakan Allah Perjanjian Lama (kuno) dengan Allah dalam Perjanjian Baru (sebutkan perbedaan-perbedaan Allah menurut pandangan ini). Allah menjadi jembatan yang utama karena Allah adalah Allah yang tidak berubah. Ia Allah yang tidak berubah dalam keberadaan-Nya, kesempurnaan-Nya, tujuan-Nya, dan janji-janji-Nya. Allah adalah Allah yang konsisten yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian-Nya dengan manusia yang berlaku di sepanjang masa. Perjanjian Lama mencatat kesetiaan Allah terhadap Perjanjian-Nya di sepaanjang sejarah antara lain: Kej.17:7; Ul.29:13; 2Sam.7:13-16; 1Raja.8:15-16,56; Ibr.6:16-20)
b. Dunia Perjanjian Lama adalah dunia yang sama dengan dunia masa kini
Dunia Perjanjian Lama adalah sejarah yang riil yang pertama-tama di apklikasikan dalam dunia perjanjian Lama itu sendiri (contoh Yosua1:1-12:24 dan 1Raj.23:26-27;24:3-4). Mereka mengaplikasikan peristiwa-peristiwa pada zamannya karena mereka mengalami dampak atau akibat dari setiap peristiwa itu. Peristiwa Perjanjian Lama itu terus berkembang dan membuka jalan sampai kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman moderen ini. Peristiwa-peristiwa dalam Perjanjian Lama itu telah meninggalkan “tanda” bagi kita pada masa kini. Kita hidup di dunia yang sama yang telah diciptakan oleh Allah. Dunia Perjanjian Lama memiliki persoalan yang sama dengan dunia masa kini meskipun bentuk-bentuknya yang berbeda.
c. manusia Perjanjian Lama adalah “manusia yang sama” dengan manusia masa kini
Manusia Perjanjian Lama dengan manusia masa kini memiliki hakekat yang sama paling tidak dalam dua hal.
- manusia yang sama karena diciptakan oleh Allah menurut gambar dan rupa-Nya. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, sehingga persoalan dan kebutuhan dasar manusia sepanjang sejarah pada hakekatnya adalah sama (apa itu?)
- manusia yang sama yang memiliki keunikan dari ciptaan lainnya. Keunikan manusia ini merupakan implikasi gambar dan rupa Allah yang terdapat pada manusia. Manusia memiliki kemampuan berbahasa (linguistic abilities), kapasitas mental (mental capacity) dan sifat moral (moral nature).
Melalui pendekatan ini, gap antara dunia kuno dengan dunia masa kini dapat dijembatani. Jembatan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Allah
Dunia
Manusia
Dunia
Dunia kuno masa kini
Terlepas dari semua pandangan dan teori para ahli Alkitab, dalam mempelajari Perjanjian Lama, kitapun diperhadapkan dengan persoalan lain:
1. Mengetahui arti asli, berarti mengetahui tujuan penulis
Persoalannya : Hampir keseluruhan kitab dalam Perjanjian Lama tidak menjelaskan tentang penulis-penulis tiap-tiap kitab secara eksplisit, apakah satu kitab ditulis oleh satu pengarang atau lebih (seperti Mazmur, Pentateukh, Yesaya dll).
Dari mana kita dapat mengetahui arti teks berdasarkan tujuan seseorang atau lebih dari penulis yang tidak diketahui pengarangnya?
2. Mengetahui arti asli berarti mengetahui maksud penulis
Persoalan : Apakah maksud penulis identik dengan pengarang Ilahi
Untuk menjawab pertanyaan ini biasanya para sarjana Alkitab konservatif mengacu kepada tulisan Rasul Petrus: ‘yang terutama....’ (2 Ptr. 1:20-21). Berdasarkan teks ini jelas, bahwa dibalik semua penulis manusia ada seorang pengarang tunggal yang memiliki maksud dan tujuan dalam semua tulisan. Beberapa contoh kasus: Hosea 11:1
Dari uraian di atas, maka kita menemukan berbagai persoalan hermeneutik:
• Kita tidak mengetahui pengarang-pengarang dari kitab-kitab Perjanjian Lama
• Beberapa kitab ditulis oleh satu orang atau lebih dalam waktu tertentu
• Kita tidak mengetahui suatu apapun tentang pengarang kecuali melalui karangan mereka
• Tujuan Ilahi dalam setiap karangan yang ditulis oleh para penulis kadang-kadang lebih dari yang dimaksud oleh pengarang.
II. Hakekat Teologia Perjanjian Lama sebagai bagian dari Teologia Alkitabiah
A. Asumsi-asumsi dasar
Allah memimpin sejarah manusia. Dia menciptakan manusia untuk kemuliaan diri-Nya melalui karya-Nya. Dia meneruskan pemeliharaan dan terus menguasai segala sesuatu dalam kuasa-Nya. Dengan inisiatif-Nya Allah menyatakan tujuan-Nya melalui manusia. Ia berkomunikasi dengan manusia secara langsung atau melalui vision atau ilham. Dalam sejarah, Allah memperlengkapi manusia dengan suatu catatan atau laporan tentang segala sesuatu yang dikehendaki-Nya bagi manusia. Dalam Perjanjian Lama misalnya dimulai dengan Hukum Taurat yang diberikan melalui Musa di gunung Sinai dan dalam perkembangan selanjutnya dalam sejarah Israel.
Fakta-fakta ini menjadi satu pondasi bagi Teologia Alkitab (Biblika). Teologia Alkitab adalah sesuatu yang sungguh-sungguh dan nyata (benar) yang disajikan oleh Alkitab. Teologia Biblika yang dibangun berdasarkan pengajaran Alkitab paling tidak memiliki 7 (tujuh) asumsi dasar antara lain : (The Theology of The Older Testament; 1976, 15-16)
1. Sejarah eksistensi agama
Manusia dalam setiap periode atau zaman memiliki suatu perangkat nilai-nilai yang diakui
dalam kehidupanya. Phenomena ini nampak dalam seluruh kebudayaan, sehingga setiap
orang dapat mengevaluasi nilai-nilai atau agama yang diyakini atau yang diinginkannya.
Pada prinsipnya tidak ada manusia yang Ateis secara teori, kecuali ateis secara praktis
2. Mutlak, kualitas agama yang diyakini bersifat mengikat sebagai perlawanan terhadap skeptisisme, (tidak ada agama atau keyakinan yang tidak memiliki klaim yang tidak mutlak, jika tidak mengapa ia harus meyakininya) seseorang harus membuat suatu komitmen secara pribadi terhadap keyakinan (nilai-nilai yang dipercayai). Apa yang diyakininya bersifat mutlak.
Contoh: Mikha 6:8, asumsi tentang suatu realitas sebagai ‘pengetahuan yang baik’ dan ‘pentingnya manusia memelihara itu’.
Tidak ada agama nomor dua, atau agama yang tidak “missioner”
3. Eksistensi keTuhanan sebagai kebenaran yang utama, sebagai perlawanan terhadap naturalis ateisme. Nilai yang tertinggi adalah pribadi Allah (Kej.1:1), sehingga standar moral tidak dapat menggantikan Allah. Secara umum semua manusia tanpa kecuali menyadari bahwa adanya “ultimate being” (keberadaan yang utama) di luar dirinya
4. Pengetahuan tentang kebenaran Ilahi, sebagai perlawanan terhadap Agnosticism.
Allah telah menyatakan diri sehingga manusia dapat mengenal-Nya. Tetapi tidak berarti bahwa manusia dapat mengenal Allah secara keseluruhan (Ayub 11:7b, Mzm.139:6, Rm.11:33), tetapi bukan berarti Allah tidak dapat menyatakan kebenaran-Nya terhadap manusia (1 Raj. 18:1), termasuk menyatakan diri-Nya sendiri.
5. Fakta tentang penyataan
Allah telah menyatakan diri-Nya sehingga dapat diketahui oleh manusia (Rm. 1:19). Dari diri manusia yang terbatas dan juga karena akibat dosa manusia dalam pikirannya (Ef. 4:17-19), manusia tidak menemukan Allah melalui pencahariannya sendiri (Ayb. 11:7a).
6. Batasan penyataan yang efektif terhadap Alkitab, sebagai perlawanan kepada
rasionalistik, liberalisme dan penyembahan berhala. Pernyataan Allah secara umum nampak kepada seluruh budaya, sejarah dan hati manusia (Mzm. 19:1; Rm. 1:20). Manusia berdosa, bagaimanapun diikat kepadanya (Rm. 1:21, 28). Penyataan umum memiliki arti yang sesungguhnya bagi manusia (Mzm. 19:7; 119:8) hanya ketika Roh Kudus Allah menerangi manusia melalui penyataan khusus tentang Alkitab.
7. Identifikasi seluruh Alkitab dengan penyataan
Seluruh Alkitab adalah Firman Allah oleh karena itu Alkitab tanpa salah dalam inspirasi
terhadap teks asli (Kis. 24:14)
B. Definisi Teologia Perjanjian Lama
Pemahaman terhadap definisi teologia pada saat ini sangat rancu dan sulit untuk didefinisikan. Tidak ada satu definisi yang diakui dan diterima secara umum. Von Rad menjelaskan, bahwa tidak ada satu susunan seperti yang nampak saat ini sebagai satu pokok tentang …Teologia Perjanjian Lama. Manakah yang benar, teologia tentang Perjanjian Lama atau teologia Perjanjian Lama? Perbedaan dan pemakaian secara berganti (interchangeability) dari kedua istilah tersebut tidak memiliki perbedaan secara mendasar.
Teologia tentang Perjanjian Lama menempatkan penekanan utama pada teologia yang terdapat di dalamnya atau mengikat kepada Perjanjian Lama.. Studi teologia adalah bersifat deskriptif dan sejarah. Jika Teologia Perjanjian Lama adalah pokok maka teologi adalah yag terutama, Perjanjian Lama hanyalah merupakan salah satu cabang teologi moderen yang minat utamanya berhubungan dengan Perjanjian Lama.
Teologia bersifat deskriptif artinya penjelasan itu didasarkan atas apa yang Allah kerjakan dan dilaporkan dalam Perjanjian Lama. Teologia Perjanjian Lama bersifat teologis artinya teologia Perjanjian Lama itu tidak hanya concern dengan sejarah Israel, atau menceritakan kembali apa yang dikerjakan Allah untuk Israel. Perjanjian Lama adalah Alkitab yang dinspirasikan dan memiliki berita yang berasal dari Allah yang berlaku bagi segala waktu dan tempat.
Teologia adalah suatu “refleksi atas”, “suatu penafsiran” atau “suatu ide” dari materi-materi teologi dalam Perjanjian Lama yang tetap relevan bagi kita. Roland de vaux lebih lanjut menulis,
“Alkitab adalah laporan tentang “tulisan-tulisan kudus” bukan karena hal ini berisi tentang “sejarah kudus”, tetapi secara prinsip karena Kitab Suci ditulis di bawah inspirasi Allah, untuk megekspresikan, memelihara dan menyampaikan maksud penyataan Allah kepada Manusia. Pokok suatu teologi tidak terbatas seperti yang dimaksudkan oleh Von Rad, tetapi mendefinisikan teologia itu seperti yang diyakini oleh mengenai hubungannya dengan Allah dan keyakinan Israel atas intervensi Allah dalam sejarah. Para Teolog menerima Perjanjian Lama sebagai Firman Allah, pencarian disini adalah usaha yang dilakukan terhadap apa saja yang disaksikan oleh Allah dan diajarkan-Nya melalui sejarah kepada semua orang”.
Meskipun definisi teologia sulit dan tidak satupun yang diterima secara baku, tetapi secara singkat Teologia Perjanjian Lama dapat diuraikan secara singkat:
studi dan presentasi yang mempelajari tentang apa yang dinyatakan oleh Allah yang
bersumber kepada Perjanjian Lama. (John H Sailhamer, p 17)
Berdasarkan definisi tersebut di atas, nampaklah bahwa Teologia Perjanjian Lama itu sebagai suatu disiplin ilmu yang disajikan dalam suatu bentuk yang sistimatis dan bersumber kepada penyataan Allah pada Perjanjian Lama.
Sebelum melihat beberapa variable yang membentuk teologia Perjanjian Lama, maka perlu ditekankan bahwa dasar, focus maupun tujuan dari suatu teologia adalah Allah sendiri.
Allah menjadi dasar dan focus teologi , belajar teologia itu berarti belajar tentang Allah dan belajar dari Allah. Jika Belajar teologia hanya belajar tentang Allah dan tidak belajar dari Allah, itu bukanlah suatu teologi. Allah bukan sebagai hanya sebagai objek (seolah-olah Allah dapat diteliti berdasarkan ilmu pengetahuan) dari suatu teologi serperti definisi teologia “Ilmu tentang Allah” yang merupakan produk filsafat. Sebaliknya Allah menjadi subjek tetapi sekaligus menjadi objek (karya Allah) suatu teologia. Dengan demikian teologia hanya dapat dibangun di atas penyataan Allah. Tanpa penyataan Allah, tidak ada teologia, penyataan Allah menjadi sumber bagi suatu teologia.
Kebenaran yang mendasar dalam Teologi Perjanjian Lama dalah realitas Allah yang secara aktif mengkomunikasikan kehendak-Nya dalam sejarah (Kel.20:1; 1Raj.18:24,39). Allah sunguh-sugguh membebaskan bangsa Israel dari Mesir. Allah menjawab Elia, sehingga orang Israel dan orang kafir dapat mengetahui Dia adalah Yahweh.
Teologi Alkitab memiliki hubungan dengan Allah dan penyataan-Nya :
- Perjanjian Sinai, Allah mengikat dirinya sendiri untuk menyelamatkan Israel (Kel.6:7, 19:4)
- Tindakan-tindakan dan kebenaran-kebenaran Allah yang dinyatakan (fasif dan aktif)
- Allah berbicara dalam berbagai waktu dan berbagai cara (Ibr.1:1)
Teologi Perjanjian Lama menunjukkan berbagai sisi pribadi Allah yang aktif berkarya dalam sejarah.
Dari definisi di atas ada beberapa aspek yang dapat dijelaskan antara lain:
1. Studi Perjanjian Lama
Ciri yang pertama yang direfleksikan oleh teologia Perjanjian Lama melalui definisi itu ialah studi tentang Perjanjian Lama. Teologia Perjanjian Lama dihasilkan dan menghasilkan studi Perjanjian Lama. Dalam studi Perjanjian Lama paling tidak ada empat area studi Alkitab yang dimasukkan sebagai refleksi teologia ke dalam suatu tingkatan sebagai tugas dari teologia Perjanjian Lama.
a. Hermeneutik
Studi Alkitab atau hermeneutik Perjanjian Lama adalah subjek yang menjadi dasar dari suatu teologia Perjanjian Lama. Jika hermeneutik dihubungkan dengan ilmu pengetahuan atau seni menafsirkan teks, maka kita dapat melihat bahwa keputusan yang dibuat dalam berteologia akan dipengaruhi suatu teologia yang didasarkan kepada teks Alkitab. Teologia Perjanjian Lama diangkat ke permukaan dari teks Alkitab melalui ilmu hermeneutik.
Salah satu hal yang paling unik dalam Alkitab yang membedakannya dengan literatur-literatur dunia ialah karena hermeneutik Alkitab yang bersifat khusus.
b. Bahasa dan Penterjemahan
Perjanjian Lama adalah kitab yang ditulis dalam bahasa yang berbeda sama sekali dengan bahasa kita atau bahasa Inggris. Seseorang pertama-tama harus memutuskan arti teks dan terjemahannya sebelum suatu perkembangan lain dapat dibuat dalam teologia. Pada saat yang sama, haruslah diakui bahwa tugas membaca dan menterjemahkan Alkitab itu sendiri adalah suatu teologia. Sebelum suatu teks dapat diterjemahkan, teks itu harus dipahami dan ditafsirkan. Bagaimanapun tidak menyenangkan bagi kita, proses memahami suatu teks atau suatu bagian teks dan kemudian menterjemahkannya adalah sesuatu tugas untuk mencari sesuatu yang tersembunyi dalam teks itu.
c. Eksegese.
Teologia Perjanjian Lama merupakan suatu ringkasan dari berbagai bagian teologia. Eksegese merupakan tugas interpretasi dan pemahaman arti yang spesifik dari teks Alkitab. Setiap bagian dari Perjanjian Lama harus dipahami sebelum keseluruhannya dapat disusun ke dalam suatu teologia Perjanjian lama secara lengkap. Tiap bagian dari Perjanjian lama harus merupakan bagian dari keseluruhan. Arti dari suatu bagian teks harus menjadi arti dari keseluruhan teks. Pada saat yang sama, pemahaman dari keseluruhan teks harus melalui pemahaman dari suatu bagian. Eksegese (memahami bagian teks), merupakan bagian yang
integral dari sebagian tugas dari teologia Perjanjian Lama (memahami seluruh teks) dan Teologia Perjanjian Lama itu didasarkan kepada Eksegese.
Eksegese adalah jalan yang menuntun kepada suatu teologia Perjanjian lama, sebaliknya teologia Perjanjian Lama adalah terang yang menjelaskan eksegese
d. Pengantar Perjanjian Lama
Studi Perjanjian Lama juga dipokuskan kepada pertanyaan dan issue-isue pengantar tentang identitas tiap-tiap kitab. Studi pengantar Perjanjian Lama menjelaskan tentang penulis, waktu, penerima (alamat), situasi latar belakang sejarah, politik, agama dan kondisi-kondisi yang ada dalam konteks dari setiap kitab. Dalam jangkauan yang lebih luas, pengantar Perjanjian Lama juga mencatat tentang isu-isu dan penyelesaian-penyelasaian tiap persoalan dari setiap kitab.
Perkembangan dari suatu teologia termasuk teologia Perjanjian Lama tidak terlepas dari keseriusan kita untuk memahami isu-isu pengantar Perjanjian Lama itu sendiri. Pengantar Perjanjian Lama merupakan kerangka dasar dalam membangun suatu teologia Perjanjian Lama, penyelesaian pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam studi pengantar Perjanjian Lama akan menentukan suatu kepastian dalam teologi Perjanjian Lama itu sendiri.
2. Presentasi
Suatu topik yang diperdebatkan dalam Teologia Perjanjian Lama ialah tentang model presentasi yang sesungguhnya. Teolog Biblika yang mula-mula memakai hal ini untuk berbicara tentang kemampuan untuk memahami Alkitab dan kemampuan untuk menjelaskan Alkitab. Bagaimana seseorang memiliki pemahaman yang baik tentang apa yang dikatakan oleh para penulis Alkitab dan tentang teologia mereka.Ada sejumlah cara yang dapat dipakai untuk mempresentasikan setiap materi dan susunan presentasi yang dipilih oleh teolog-teolog Perjanjian Lama dapat dikelompokkan kedalam beberapa kelompok antara lain :
a. Sistematika
Untuk menyusun suatu teologia secara sistimatis biasanya para teolog menempatkan teologia dibawah tiga pokok atau tema besar, yaitu : Allah-Manusia-Keselamatan
Topik yang pertama tentang Allah didiskusikan dengan seluruh bagian yang berhubungan dengan keberadaan Allah dan sifat-sifatnya. Kemudian diikuti dengan diskusi tentang umat manusia dan keselamatan.
Tetapi disisi yang lain para teolog juga menyusun teologia dibawah pokok yang mereka anggap sebagai tema penting dalam Perjanjian Lama,seperti halnya, Perjanjian, Allah, Hukum Taurat, penebusan dan lain-lain
b. Historikal
Perjanjian Lama di bangun diatas dasar narasi-narasi sejarah yang menceritakan tentang rentang sejarah yang sangat penjang dari Penciptaan sampai kepada bagian yang terakhir dalam Perjanjian Lama sebelum Kristus. Mempelajari Perjanjian Lama, berarti belajar dari suatu waktu dan fakta yang khusus tentang sejarah bangsa Israel. Tetapi lebih jauh, harus dilihat bahwa tujuan Perjanjian Lama lebih dari pada sekedar mempelajari sejarah dan agama Israel.
Perjanjian Lama berhubungan dengan peristiwa-peristiwa dan gagasan yang objektif melalui suatu periode yang panjang. Contoh. Hosea 11:3, bangsa Israel dibangkitkan dan dihukum. Kronologis adalah faktor yang penting dalam teologi Perjanjian Lama. Untuk mengetahui kapan peristiwa itu terjadi, kita harus mempelajari peristiwa-peristiwa yang mendahului (konteks) sehingga dapat melihat hubungan-hubungan setiap peristiwa
Salah satu pokok penting dalam Perjanjian Lama, Allah menyelamatkan manusia dari dosanya. Hosea.11:8, Menjelaskan tujuan Allah adalah untuk membawa manusia kembali kepada diri-Nya melalui Yesus Kristus (II Kor.5:19). Sejarah penyataan Allah memiliki hubungan dengan penebusan-Nya karena:
- Penebusan Allah di sepanjang sejarah manusia ( Perjanjian Lama) hanya ada di dalam Kristus (Yoh14:6). Alkitab hanya menunjukkan satu rencana keselamatan di dalam Kristus.
- Tindakan penebusan Allah berkembang, jalan keselamatan dipersiapkan sampai genap waktunya Allah menyatakan diri di dalam Yesus Kristus (Gal.4:4). Keselamatan mencapai puncaknya di dalam Kristus (Ibr.1:1). Kristus menjadi pokok penting baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru (Kis.10:42)
- Manusia membutuhkan keselamatan yang dinyatakan di dalam Alkitab.
3. Penyataan Allah
Dari Definisi di atas istilah Teologia menemukan artinya dalam hubungan dengan konsep tentang penyataan. Teologia Perjanjian Lama concern dengan penyataan yang diberikan oleh Allah dalam Perjanjian Lama. Berbicara tentang Perjanjian Lama sebagai penyataan tidak hanya berarti berbicara tentang masa lalu. Jika Allah sudah berbicara dalam teks Alkitab, maka tidak ada alasan untuk membatasi apa yang dikatakan oleh Allah itu hanya sebagai perkataan untuk masa lalu. Jika Allah sudah berbicara, itu tidak hanya menjadi bagian ketika Ia berbicara. Jika Allah sudah berbicara, suara-Nya tetap terdengar sampai hari ini. Oleh sebab itu, Perjanjian Lama adalah Penyataan tentang kehendak Allah, dan suatu teologia Perjanjian Lama harus menjadi suatu presentasi, atau restatement dari perkataan Allah itu.
4. Teologi Perjanjian Lama memiliki sumber dari Alkitab.
Daniel berkata,“Saya mengetahui melalui kumpulan kitab“ (9:2) Alkitab satu-satunya sumber bagi teologi Perjanjian Lama. Teologia hanya dapat dibangun di atas dasar penyataan Allah yang telah tertulis dalam Alkitab. Diluar Alkitab teologia yang dibangun akan berdampak kepada disipilin ilmu antropologi, psikologi atau “gi” yang lain
III. Sejarah perkembangan Teologia Perjanjian Lama
Sejarah Teologia Perjanjian Lama sangat panjang, menarik dan penuh dengan liku-liku. Meskipun disipilin Teologia dalam bentuknya yang moderen paling tidak sudah berusia dua ratus tahun, tetapi akar teologia Perjanjian Lama harus kembali kepada Perjanjian Lama itu sendiri . Sebagian besar Sarjana Alkitab menghubungkan sejarah Teologia Perjanjian Lama kepada Johann Philipp Gabler, yang dianugrahi dengan gelar Doktor Teologia di Universitas Aldorf tahun 1787 oleh karena sumbangannya terhadap perkembangan dalam bidang Perjanjian Lama (meskipun Ia sendiri tidak pernah menulis Teologi Perjanjian Lama).
Teologia Perjanjian Lama merupakan bagian dari Teologia Biblika ( pada zaman Gabler tidak ada perbedaan antara Teologia dogmatika/sistimatika dan Biblika) sehingga perkembangan teologia Perjanjian Lama sebagai bagian dari disiplin teologia secara menyeluruh merupakan perkembangan Teologia Biblika. Teologia Perjanjian Lama mengalami perkembangan dalam beberapa periode:
1. Periode Persiapan
Teologia Perjanjian Lama pertama-tama tidak harus dihubungkan dan dipahami dengan zaman Gabler, tetapi pada Perjanjian Lama itu sendiri. Sejarah Teologia Perjanjian Lama telah eksist jauh sebelum jaman Gabler.
Perjanjian Lama sudah dipahami di dalam zamannya sebagai penyataan Allah dan Perjanjian Lama dipakai oleh para penulis Alkitab (Perjanjian Lama) yang kemudian sebagai sumber teologianya. (Mazmur 78; Yer. 26:18; Ezr. 7:10; Neh. 8:1-8). Nabi Hagai harus mengetahui tentang Nubuatan Nabi Yeremia tentang Allah yang akan menggerakkan “cincin materai-Nya” dari tangan tangan nenek moyang Konya (Yer.22:24-25) ketika Ia berkata Allah akan membuat Zerubabel, anak anak Konya, seperti “cincin materai” (Hag.2:23). Yeremia berbicara tentang suatu “Perjanjian Baru” (Yer.31:31-34). Nabi yang lain berbicara tentang nabi suatu “keluaran baru” (Yes.43:14-21; 48:20; 52:12) dan “Daud yang baru” (Yer.23:5-6; Yeh.34:23-24; 37:24-27).
Komunitas Qumran menafsirkan bahan-bahan dari Perjanjian Lama secara teologis. Mereka menulis beberapa tafsiran atau hymne yang didasarkan kepada tema-tema dari Perjanjian Lama.
Perjanjian Baru, memakai Perjanjian lama secara teologis, dua puluh tujuh kitab dalam Perjanjian Baru menunjukkan hubungan secara langsung dengan Perjanjian Lama.
Yesus Kristus secara konsisten berbicara tentang Perjanjian Lama sebagai dasar dan penjelasan bagi pengajaran dan pelayanan-Nya (Mat. 5:17; Luk 17, 21; 24:27). Penulis PB (para rasul) mempelajari Perjanjian Lama sebagai nubuatan keselamatan (Kis. 3:24). Mereka menekankan kebenaran tentang berbagai aktifitas Allah dalam sejarah Israel (Kis. 7, 13:16-41). Mengambil Perjanjian Lama sebagai bagian yang besar dalam khotbah-khotbah mereka terhadap gereja mula-mula dalam Perjanjian Baru (Kis. 2:16, 25; Mat. 1:22).
Perkembangan metode penafsiran Alkitab secara harafiah telah di kenal pada zaman itu, tetapi penafsiran ini banyak diselewengkan dengan legalistik para Pharisi. Tradisi Yahudi mencoba membatalkan keaslian Firman Allah (Mrk. 7:13) dan menurunkannya kepada kebenaran diri sendiri. Orang Yahudi menolak keselamatan di dalam Kristus, menutup diri dari kebenaran Alkitab ( Perjanjian Lama) sebagai penyataan Allah.
Perkembangan sejarah teologia Perjanjian Lama nampak jelas dalam kehidupan dalam
Teologia Bapa-bapa gereja. Pengertian tentang sejarah penyataan Allah sebagai karya
keselamatan Allah dalam sejarah Perjanjian Lama diyakini sebagai teologia yang sesungguhnya.
Irenaeus (AD. 180), murid Policarpus yang adalah murid Rasul Yohanes tidak hanya mendirikan fondasi bagi teologia gereja, dia juga dicatat seorang teolog biblika secara khusus menekankan kesatuan yang ditemukan dalam penyataan Allah yang berkembang.
Agustinus dalam bukunya city of God (AD. 425) membuat suatu analisa terhadap pernyataan Perjanjian Lama dalam lima periode sejarah. Tetapi Bapa gereja ini juga mewarisi metode Alegoris dari Alexandria Yudaisme dalam menafsirkan Alkitab
Pada abad ke empat sampai dengan Abad ke 16, thn.500-1500 (Abad pertengahan), minat terhadap Perjanjian Lama ditandai dengan munculnya empat sistim penafisran yaitu : arti literal atau historical, allegorical, moral atau tropological, dan spiritual atau analogical. Contoh dari keempat metode penafsiran ini dapat kita lihat dalam peristiwa pemberian “manna di padang gurun”.
secara literal :manna adalah makanan ajaib yang diberikan oleh Allah untuk
memelihara bangsa Israel di padang gurun.
secara Alegoris :manna adalah berkat sakramen dalam Perjamuan kudus,
secara tropological :manna adalah substansi Roh dari hari ke hari melalui
kehadiran Roh Kudus.
secara analogical, : manna adalah “makanan dari surga yang memberkati jiwa “atau menggambarkan kesatuan yang sempurna dengan Kristus”
Contoh lain : Kota Yeruslem menurut metode penafsiran ini dapat diartikan sebagai berikut :
Analogical --------------------- Yerusalem : Kota surgawi
Alegorical ---------------------- Yerusalem : Gereja
Tropological ---------------------- Yerusalem : Jiwa manusia
Literal --------------------- Yerusalem : Kota Yehuda
2. Dari reformasi s/d zaman pencerahan
a. Para reformator
Para reformator abad ke 16 menerapkan prinsip ‘sola scriptura’ (hanya Alkitab saja) dan sui ipsui interper ‘Alkitab menafsirkan dirinya sendiri’ menjadi semboyan reformasi sekaligus juga menjadi dasar untuk teologia biblika ( Perjanjian Lama) di kemudian hari. Prinsip-prinsip ini menolak ‘kebenaran gereja’, ‘Paus’ atau ‘orang-orang kudus’ yang ditetapkan sebagai penafsir atas gereja. Penafsiran menurut prinsip ini hanya datang dari Alkitab yang harus memberikan kebenaran hikmat tentang diri-Nya sendiri (Ams. 2:6). Prinsip ini juga membatalkan Alegoris yang mendominasi pada abad pertengahan dan dalam zaman ini Alkitab lebih cenderung ditafsirkan secara harafiah
b. Zaman ortodoksi
Pada zaman ini muncul teologia biblika yang pertama (th. 1640). Teologia biblika dalam zaman ini menyusun ayat-ayat dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru untuk mendukung teologia sistematika yang menjadi ratu di antara cabang ilmu teologia zaman itu. Dengan kata lain, di buat rumusan-rumusan teologia dan kemudian dicari ayat-ayat pendukung. Dalam periode ini teologia biblika bertugas untuk mendukung teologia sistematika. Atau dengan kata lain Teologia Biblika menjadi ayat pandukung bagi teologi Sistimatika
c. Pietisme
Pietisme membawa suatu perkembangan dengan semboyan ‘Back to the bible’. Perkembangan ini sebagai reaksi dan antisipasi terhadap teologia ortodoks yang sangat kaku. Teologia biblika harus dilepaskan dari teologia sistematika sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan teologia biblika dipahami sebagai dasar bagi teologia sistematika.
3. Zaman pencerahan
Pada zaman pencerahan terjadilah suatu pendekatan yang baru sama sekali kepada kepada teologia biblika disebabkan oleh ciri-ciri zaman itu:
a. Segala sesuatu yang bersifat supranatural ditolak. Akal manusia dipandang sebagai kriteria/hakim tertinggi dalam usaha menemukan dan merumuskan kebenaran. Ia juga diakui sebagai sumber utama untuk memperoleh pengetahuan. Akibat perkembangan ini ialah bahwa Alkitab sebagai rekaman sempurna dari Wahyu Allah ditolak
b. Berkembangnya hermeneutika Alkitab yang baru, yaitu metode historis kritis. Yang berkuasa di antara para teolog liberal sampai hari ini.
c. Kritik liberaris yang radikal diterapkan juga pada Alkitab. Salah satu pelopornya ialah dokter medis dari Perancis Jean Astruc yang mulai untuk membagi Pentateukh atas ‘sumber-sumber’ yang fiktif.
d. Keyakinan akan inspirasi ilahi dari Alkitab ditolak.
Alkitab mulai dipandang sebagai salah satu dari sekian dokumen kuno di dunia ini. Pelopor paham yang baru ini ialah seorang teolog reasionalis Johann Salomo Semler (1725-1791). Ia menegaskan bahwa ‘Firman Allah sama sekali tidak sama dengan Alkitab’ sehingga tidak lagi dapat dikatakan bahwa ‘Alkitab adalah Firman Allah’. Itu berarti bahwa:
a) tidak semua bagian Alkitab berdasarkan wahyu dan ispirasi Allah sendiri;
b) Alkitab adalah dokumen historis yang biasa
c) Alkitab harus diselidiki dengan metode-metode historis dan itu berarti dengan metode-metode yang kristis.
Berdasarkan aksioma-aksioma ini maka teologia biblika pada zaman pencerahan menjadi ilmu yang historis yang lagi bertentangan dengan teologia sistematika, walaupun kali ini pertentangan itu dari segi lain.
Pada tahun 1792 Von Ammon menulis sebuah teologia biblika berdasarkan ide-ide dari Semler, dan dari dua ahli filsafat di Jerman yaitu Lessing dan Kant. Buku yang dikarangnya itu sebenarnya merupakan ‘teologia filosofis’. Di dalam tulisannya nampak bahwa ia menganggap Perjanjian Baru lebih tinggi dari Perjanjian Lama.
Gagasan ini merupakan langkah pertama ke arah pemisahan antara ‘teologia Perjanjian Baru’ dan “teologia Perjanjian Lama’
Johann Philipp Gabler (1753-1826), seorang teolog dari aliran rasionalisme pada tahun 1787 memberikan definisi penting, yang mengakibatkan bahwa teologia biblika terlepas sama sekali dari teologia sistematika dan kemudian berdiri sendiri sebagai cabang ilmu sejarah. Gabler menulis:
‘teologia biblika bersifat historis mengingat bahwa ia meneruskan apa yang penulis-penulis suci pikirkan tentang perkara-perkara ilahi; sebaliknya teologia sistematika bersifat didaktis (mengajar), mengingat bahwa ia mengajarkan apa yang dipikirkan teolog itu tentang perkara-perkara ilahi sesuai dengan kemampuannya, waktunya, zamannya, alirannya, tempatnya dan hal-hal lain seperti itu’
Gabler menetapkan prinsip-prinsip dalam membuat teologia Perjanjian Lama : pertama, Teologia Biblika dimulai dari studi tiap-tiap bagian Alkitab dengan membedakan setiap bagian itu berdasarkan prinsip penafsiran historical-Gramatikal. Kedua, kita harus membedakan setiap bagian Alkitab satu dengan yang lain, tidak ada perbedaan atau persamaan dari tiap-tiap bagian itu. Ketiga, dia harus sistimatis atau menyusun ide-ide secara umum tanpa mendistorsi atau menghilangkan perbedaan-perbedaan.
Pendekatan Gabler sebagai seorang rasionalist terhadap teologia biblika berdasarkan tiga prinsip:
1) Inspirasi ilahi dianggap tidak ada, sebab: “Roh Allah sama sekali tidak memusnahkan dalam tiap orang suci kemampuannya sendiri untuk mengerti dan ukuran pemahamannya secara alamiah terhadap perkara-perkara ilahi..” Yang menentukan di sini bukanlah ‘otoritas ilahi’ melainkan ‘hanya apa yang orang-orang itu pikirkan’
2) Teologi Alkitab bertugas mengumpulkan secara teliti berbagai gagasan dari setiap penulis Alkitab, karena Alkitab tidak berisi gagasan satu orang saja. Tugas ini hanya akan dapat dilaksanakan melalui metode penelitian sejarah, satra dan filsafat.
3) Sebagai salah satu disipilin ilmu, teologi Alkitab harus membedakan antara beberapa periode yang lama dengan yang baru. Mana yang berlaku pada zaman ini mana yang tidak
Gabler memiliki pengaruh bagi para Sarjana Alkitab terkemudian yang menghasilkan tulisan-tulisan tentang Teologia Biblika. Salah satu dari teolog itu adalah George Lorenz Bauer.
George Lorenz Bauer (1796), orang pertama yang menyusun dan mempublikasikan teologi Perjanjian Lama secara historis kritis, Bauer menyusun bukunya ke dalam tiga bagian antara lain : Teologi, Anthroplogi dan Christologi. Faham rasionalisnya, sangat mempersoalkan masalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ke dua orang ini mendirikan cabang teologi Perjanjian Lama dan teologi Perjanjian Baru. Menurut Bauer,
“segala ide tentang penyataan Allah yang suprnatral melalui teophani, mujijat, nubuatan-nubuatan harus ditolak, sebab segala sesuatu bertentangan dengan akal dan dengan mudah dapat disejajarkan dengan apa yang terdapat di antara bangsa-bangsa yang lain”.
Tokoh lain ialah Schleiermarcher (1768-1834), seorang Pastor yang sangat berpengaruh di Berlin. Ia memiliki pandangan yang sangat merendahkan Perjanjian Lama. Bagi Schleiermacher, “Perjanjian Lama adalah peristiwa yang kebetulan terjadi (historical accident) yang dikembangkan oleh orang Kristen dari pakaian Yudaisme”
Hegel adalah tokoh Filsafat yang merupakan kolega dari Schleiermarcher di Universitas Berlin. Ciri-ciri yang mendasar dari filsafat Hegel ialah character Dialektikal. Teori Hegel “segala sesuatu di dalam dunia memiliki oposisi, setiap tesis memiliki antitesis, tiap tesis dan antitesis membentuk sintesis dan menjadi tesis baru pada tingkatan yang lebih tinggi “
Menurut Hegel, ide berkembang dari sesuatu yang sederhana kepada tingkatan yang lebih tinggi, dan merupakan kunci untuk memahami rahasia dunia. Filsafat Hegel mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia termasuk teologi
Contoh pengaruh filsafat Hegel kepada teologia antara lain tentang pandangannya terhadap Agama Kristen (Sintesis) yang merupakan hasil perpaduan antara agama purba (tesis) dengan agama Yahudi (antitesis)
dst
sintesis antitesis
Tesis Antitesis
Tokoh lain yang mempengaruhi perkembangan teologia Perjanjian Lama ialah Soren Kierkegaard. Ia menolak pandangan Hegel dengan teori Dialekticalnya dan penekankannya justru atas rasionalism dari eksistensialism dari pengalaman manusia. Isu sentral bagi Kierkegaard adalah “apakah artinya menjadi orang Kristen – di dalam kekristenan? Dia melihat bahwa di dalam kebenaran kekeristenan, manusia tidak menemukan kebenarannya. Dalam tulisannya ia menolak dengan keras Hegelianism, dan dengan usahanya ia mencoba mencapai kebenaran melalui akal manusia. Bagi dia berbicara tentang kemasukakalan kekeristenan adalah penghianatan, karena subjeknya ialah penyataan Allah yang tidak terbatas kepada standar manusia. Kekeristenan dianggap tidak teruji melalui pikiran manusia. Itu adalah suatu skandal dan menjadi batu sandungan, kepada intelektual manusia
4. Dari pencerahan kepada teologia dialektis
Secara garis besar ada 4 perkembangan:
a. Teologia Perjanjian Lama dipengaruhi atau dikuasai oleh beberapa sistem filsafat
b. Teologia Perjanjian Lama filosofi itu ditantang oleh sarjana-sarjana Alkitab konservatif
c. Teologia Perjanjian Lama digelapkan oleh apa yang disebut sejarah agama
d. Teologia Perjanjian Lama dihidupkan kembali oleh teologia dialektif
a. Teologia Perjanjian Lama dipengaruhi /dikuasai oleh beberapa sistem filsafat
W.M.L. de Wette (1831) -> metode rasionalisme -> historis kritis Immanuel Kant (filosof
Jerman), filsafat Kant yang dipakai oleh de Wette ke dalam Perjanjian Lama untuk memperoleh manfaatnya -> kewajiban-kewajiban etis yang diambil untuk dimanfaatkan.
Wilhelm Vatke (1835), dia menerima fislsafat Hegel (Jerman), yaitu tentang tesis, antitesis dan sintesis.
b. Teologia rasional dan filosofis ditentang
Pada pertengahan abad ke 19 ada sejumlah teolog yang mempersoalkan sahnya pendekatan kepada Alkitab yang historis kritis. Yang paling terkemuka diantara mereka adalah Prof. E. W. Hengstenberg (1829 - 1835) seorang teolog Alkitabiah di Jerman yang sangat produktif, karyanya yang paling terkenal ialah ‘Christology of the old Testament’ (dua jilid). Dari judul buku tersebut, sudah nampak kesatuan antara dua perjanjian /testament.
Pada pihak lain Prof. G.F. Oehler di Universitas Tuebingen, Jerman memang tidak setuju
dengan Schleiermacher, yang menolak Perjanjian Lama tetapi ia juga tidak setuju dengan Hengstenberg yang katanya ‘penyamarataan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru’. Oehler sendiri sebenarnya mempertahankan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian baru dengan sekaligus mengakui perbedaan antara ke duanya. Definisinya tentang teologi Perjanjian Lama,“ adalah ilmu historis yang didasarkan pada eksegese gramatis-historis dan bertugas untuk mengungkapkan kembali inti tulisan-tulisan Alkitab menurut peraturan-peraturan bahasa yang sedang diteliti sambil memperhatikan baik situasi kondisi historis yang berlaku pada saat tulisan-tulisan ini dibuat maupun situasi kondisi tiap-tiap penulis suci“
Pertengahan abad ke 19 juga menyaksikan timbulnya aliran ‘sejarah keselamatan’ yang
meyakini inspirasi ilahi dari seluruh Alkitab. Pelopornya ialah ke dua teolog Johann T. Beck dan J. Ch. Konrad Von Hofmann. Yang mereka maksudkan dengan pendekatan ‘sejarah keselamatan’ ialah:
(i) Inti seluruh Alkitab ialah sejarah bagaimana Tuhan (mau) menyelamatkan manusia.
(ii) Teologi Perjanjian Lama bertugas untuk menguraikan sejarah keselamatan dalam Kristus sebagaimana diungkapkan dalam Perjanjian Lama
(iii) Tiap-tiap kitab mempunyai tempat yang logis dalam sistem sejarah keselamatan
(iv) Alkitab dipandang bukan sebagai perbendaharaan ayat-ayat emas yang diperlukan
untuk teologi sistematika, melainkan sebagai kesaksian tentang perbuatan-perbuatan Allah yang berlangsung dalam sejarah sampai kepada penggenapannya pada zaman akhir.
c. Aliran ‘sejarah agama-agama’
Periode ini dikenal sebagi “periode kematian bagi teologia Perjanjian Lama” yang dimulai dengan karya Julius Wellhausen “ Prolegomena Zur Geschicte Israels atau ‘prolegomena to the history of Israel’ pada tahun 1878. Puncak dari pikiran Wellhausen ialah pendekatan terhadap genetic dan perkembangan sejarah Israel dan agama-agama. Dia mempercayai bahwa Agama Israel dalam Perjanjian Lama adalah agama yang natural seperti agama-agama di sekitar Israel. Lebih lanjut menurutnya, beberapa bagian kitab dalam Perjanjian Lama seperti kitab Yosua, Hakim-Hakm, Samuel dan Raja-Raja memiliki sedikit saja pemahaman atau pengertian tentang Pentateukh.
Menurut Wellhausen, segala sesuatu berkembang dari sesuatu yang sederhana kepada sesuatu yang utuh atau sempurna, dari sesuatu yang bebas kepada yang otoriter atau terikat (Wellhausen dipengaruhi Fisafat Hegel).
Segala bentuk-bentuk perayaan, kurban-kurban, merupakan bagian dari kebiasaan bangsa-bangsa kafir di sekitar Israel yang mereka sadur kepada agama mereka.
Wellhausen berpendapat bahwa kita tidak menemukan satu teologia dalam Perjanjian Lama, tetapi berbagai teologia yang berbeda-beda, yang mengikuti garis perkembangannya masing-masing.
Secara lebih terperinci Ciri-ciri karyanya itu sebagai berikut:
(a) ‘Sumber P’ dalam Pentateukh dianggap ditulis jauh kemudian hari, yaitu pada zaman pembuangan di Babel.
(b) Sejarah Israel diubah dan direkontruksikan sama sekali karena hasil-hasil kritik pentateukh.
(c) ‘Agama Israel’ dianggap mengalami perkembangan dari yang primitif dan nyata sampai kepada pandangan yang ‘filosofis’ dan abstrak. Pandangan ini timbul karena teori perkembangan dari Hegel dan Darwin. Pada akhir abad ke 19 teori evolusi dalam semua bidang ilmu pengetahuan dianggap sebagai kunci gaib untuk mengungkapkan segala rahasia sejarah.
Akibat pandangan ‘evolusi agama’ ini untuk teologi Perjanjian Lama ialah bahwa Perjanjian Lama dipandang sebagai refleksi Yahudi terhadap pandangan sejumlah agama-agama kafir. Akibatnya ialah bahwa tidak ada lagi kesatuan Perjanjian Lama, karena Perjanjian Lama dianggap sebagai koleksi bahan-bahan dari zaman-zaman dan latar belakang yang berbeda-beda.
Berdasarkan perkembangan di atas maka tidak mungkin lagi untuk merumuskan suatu ‘teologi Perjanjian Lama’, yang dapat hanyalah suatu ‘sejarah agama-agama’. Selama empat dasa warsa lebih pandangan inilah yang berkuasa.
Dalam periode ini kita dapat mencatat penyebab kematian Teologia yang pertama dan yang terutama adalah akibat dari karya Wellhausen, yang menekankan “berbagai teologia” dalam Perjanjian Lama dan “menolak kesatuan teologia” itu. Sebab kedua ialah perlawanan para Sarjana Alkitab yang memiliki preposisi yang salah (merendahkan Perjanjian Lama) dan memasukkan pikiran mereka ke dalam Perjanjian Lama. Penyebab ketiga ialah bahwa secara umum interes atau minat terhadap Perjanjian Lama sangat rendah dalam teoloogia secara per se pada abad kedua puluh.
d. Teologia Perjanjian Lama dihidupkan kembali oleh teologia dialektis
Setelah perang dunia I para teolog cenderung untuk meninggalkan keyakinan akan peranan suatu ‘evolusi agama’ dan kembali menekankan peranan ‘wahyu’ dalam Perjanjian Lama. Hal ini karena keganasan manusia terhadap manusia selama perang dunia I tersebut menghancurkan kepercayaan bahwa manusia makin lama makin baik dan sempurna.
Juga kesimpulan tentang siapa yang menyebabkan pecahnya perang dunia I yang berbeda-beda bahkan bertolak belakang satu dengan yang lain yang dihasilkan oleh para ahli sejarah dari negara-negara Eropa, itu menghancurkan kepercayaan orang bahwa ada ilmu pengetahuan yang sungguh ilmiah dan obyektif. Ternyata ilmu pengetahuan sendiri juga sangat subyektif dan tidak terlepas dari pandangan dan pendirian pribadi sang ilmuwan. Itu semua membawa sejumlah teolog dari aliran ‘teologi dialektis’ yang antara lain mengutamakan transendensi Allah untuk menekankan peranan ‘wahyu’ dalam teologi Perjanjian Lama.
Manusia mulai mencari sumber kekuatan dan pelindung bagi mereka di dalam Firman Allah. Karl Barth menjelaskan perubahan dalam teologi sesudah tahun 1918 antara lain:
“Secara actual, akhir abad ke-19 merupakan “the good old days” yang datang bagi teologia dalam segala sesuatu seperti yang terjadi pada waktu yang lain pada tahun 1914. secara kebetulan atau tidak, sesuatu yang memiliki makna terjadi setiap tahun. Ernst Troeltsch, seorang teolog sistematika yang berpengaruh dan kemudian menjadi pemimpin yang sangat terkenal dalam dunia pendidikan moderen berhenti dari sekolah teologianya masuk ke sekolah filsafat. Suatu hari, pada awal Agustus 1914 saya ingat sebagai suatu hari yang gelap. Kurang lebih 33 orang pemikir Jerman mempengaruhi opini masyarakat melalui proklamasi mereka untuk mendukung kebijakan perang dunia kedua yang dikeluarkan oleh Wilhelm II dan penasihat-penasihatnya. Di antara para pemikir itu saya menemukan seseorang yang paling saya hargai dari seluruh guru-guru teologia saya yang sangat saya hormati,… bagi banyak orang atau jika bukan bagi semua orang, teologia datang lagi kembali seperti air yang mengalir atas kehidupan kita pada waktu mengalami kekeringan”
Terbitnya ‘Teologi Perjanjian Lama’ karangan Edward Koenig pada tahun 1922 menandai permulaan ‘kebangkitan kembali’ teologi Perjanjian Lama sebagai cabang ilmu teologi. Teologinya ini mempunyai beberapa ciri khas:
(a) Pandangan yang tinggi mengenai Perjanjian Lama
(b) Penolakan terhadap teori evolusi agama corak Wellhausen
(c) Tuntutan agar eksegese dilakukan berdasarkan metode gramatis – histories
Satu lagi alasan bagi pembaharuan atau bangkitnya minat terhadap Perjanjian Lama
sesudah perang dunia I adalah banyaknya teolog dan politikus di Jerman mulai menyerang
Perjanjian Lama sebagai bagian kampanye anti Semit. Selama akhir abad kedua puluh, pergumulan gereja di Jerman difokuskan kepada perhatian atas Perjanjian Lama dan mulai memancing gagasan yang radikal pada hakekat dan relevansinya (Perjanjian Lama)
Namun demikian semua teolog pada zamannya dan sesudahnya mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Beberapa karya ‘teolog Perjanjian Lama’ terkemuka yang diterbitkan sejak 1922 ialah antara lain karangan Walter Eichrodt (1933 - 39),yang mempertahankan bahwa teologi Perjanjian Lama tetap bersifat historis, Gerhardus Vos yang mengarang ‘Biblika Theology’ (1948), Th Vriezen (1949), Gerhard Von Rad (1957 - 60), J. B. Payne (1962 ) dan Walter Kaiser (1978).
5. Gerakan Teologia Biblika
Setelah melewati berbagai periode dalam perkembangannya, Teologia Perjanjian Lama atau teologia Biblika memasuki suatu era yang oleh Robert Dentan disebut sebagai “masa keemasan” (Golden Age) teologia Perjanjian Lama. Menurut Dentan masa keemasan ini dimulai dengan Otto Baab’s “The Theology of Old Testament” dan karya Th.C. Vriezen “An Outline of Old Testament Theology” pada tahun 1945.
Apa yang disebut Dentan sebagai masa keemasan Teologia Perjanjian Lama , disebut oleh Brevard Childs sebagai gerakan Teologi Biblika ( Biblical Theology Movement) melalui karyanya “Biblical Theology in Crisis”. Menurutnya gerakan teologia Perjanjian Lama dimulai setelah Perang Dunia ke-2 .
Menurut Childs, gerakan Teologia Perjanjian lama mencapai suatu kesadaran di sekitar lima tema pokok antara lain:
1. Penemuan kembali dimensi teologia
2. Kesatuan seluruh Alkitab
2. Penyataan adalah bersifat sejarah
3. Pendekatan terhadap Alkitab melalui studi linguistik (Ibrani)
4. Perjanjian Lama bersifat kontra dengan lingkungannya (ANE)
5. Penekanan kepada sejarah sebagai arena wahyu Ilahi
Setelah era gerakan Teologi Biblika, kehadiran teologia Perjanjian lama masa kini mengalami perkembangan yang sangat luar biasa dalam diskusi teologi. Kehadiran Teologia Perjanjian lama sebagai bagian dari Teologi Biblika tidak lepas dari karya para sarjana Alkitab dalam berbagai tulisan. Kehadiran Teologia Perjanjian Lama sama halnya dengan disiplin teologia lainnya (Sistimatika, Historika, Praktika dan lain-lain) selalu ditempatkan pada dua sisi, sisi pendukung dan oposisi.